Keputusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-48158/PP/M.XVI/16/2013
Tinggalkan komentar21 Februari 2018 oleh anggi pratiwi
Keputusan Pengadilan Pajak
RISALAH
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-48158/PP/M.XVI/16/2013
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-48158/PP/M.XVI/16/2013
JENIS PAJAK
Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai
TAHUN PAJAK
2009
2009
POKOK SENGKETA
bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap Koreksi atas Pajak Masukan sebesar Rp245.464.607,00;
Menurut Terbanding
|
:
|
bahwa Pemohon Banding terdiri dari unit produksi pabrik dan kebun, merujuk pada berkas yang disampaikan Pemohon Banding, dapat dilakukan pemisahan biaya antara biaya yang diperuntukkan untuk unit produksi kebun dan biaya yang diperuntukkan untuk unit produksi pabrik. Sehingga biaya untuk unit produksi kebun yang produk akhirnya adalah Tandan Buah Sawit (TBS) dilakukan koreksi sedangkan biaya yang diperuntukkan untuk pabrik tidak dilakukan koreksi;
|
Menurut Pemohon
|
:
|
bahwa menurut Pemohon Banding, berdasarkan aturan-aturan yang mengatur tentang definisi “menghasilkan”, pengertian Barang Kena Pajak serta Pengusaha Kena Pajak, kemudian tentang definisi PPN Masukan dan PPN Keluaran serta melihat rekapitulasi penyerahan yang terjadi, seluruhnya adalah merupakan Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), yang mana BKP yang dijual tersebut adalah hasil produksi dari proses pengolahan bahan baku menjadi barang jadi, serta atas penyerahan BKP tersebut tidak ada termasuk BKP yang bersifat strategis (dibebaskan), sehingga berdasarkan ketentuan yang ada, maka Pemohon Banding secara ketentuan Undang-undang dan aturan yang ada tentulah dapat mengkreditkan pajak masukan atas pembelian BKP dan JKP;
|
Menurut Majelis
|
:
|
bahwa kegiatan usaha Pemohon Banding adalah merupakan kegiatan usaha yang terpadu (integrated) yaitu Perkebunan dan Industri Pengolahan Sawit dan terdaftar pada 1 (satu) Kantor Pelayanan Pajak yaitu KPP Padang dengan 1 (satu) NPWP yang sama yaitu 01.206.552.0-201.000;
bahwa hasil dari perkebunan adalah berupa Tandan Buah Segar (TBS), sedangkan hasil dari industri Pengolahan Sawit adalah berupa Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang diolah dari TBS hasil perkebunan;
bahwa berdasarkan data yang tersedia diketahui bahwa seluruh TBS hasil perkebunan dikirimkan ke industri pengolahan untuk diolah menjadi CPO dan tidak terdapat penyerahan/penjualan TBS kepihak lain.
bahwa hasil usaha perkebunan dan industri pengolahan sawit yang dijual adalah berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO);
bahwa CPO adalah merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang PPN;
bahwa Tandan Buah Segar (TBS) adalah merupakan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 dan angka-angka I.3 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007;
bahwa di dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN diatur : Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
bahwa untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat timbulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materil timbulnya utang pajak karena Undang-undang;
Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tadbestand yang diatur dalam undang-undang yaitu sejak adanya suatu keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak;
bahwa berdasarkan ajaran materil tersebut, dalam Pasal 11 UU PPN saat pajak terutang diatur sebagai berikut :1) Terutangnya pajak terjadi pada saat :a. Penyerahan Barang Kena Pajak ;b. Impor Barang Kena Pajak ;c. Penyerahan Jasa Kena Pajak ; d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d;e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atauf. Ekspor Barang Kena Pajak.
2) dst.
bahwa dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya titik tolak untuk menentukan saat terutang PPN atas penyerahan BKP atau JKP adalah saat dilakukan penyerahan BKP atau JKP. Prinsip dasar menggunakan penyerahan BKP atau JKP sebagai tolok ukur. Oleh karena itu pertama-tama perlu ditentukan bilamana suatu kegiatan dapat diidentifikasi sebagai penyerahan BKP atau JKP;Saat penyerahan BKP diatur dalam Pasal 1 A ayat (1) UU PPN;Kaitan antara saat penyerahan BKP dengan saat pajak terutang menurut Undang- undang, dapat digambarkan sebagai berikut :a. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;b. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;c. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma;e. Persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;f. Penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahanBKP antar cabang;g. Penyerahan BKP secara konsinyasi;
f. Penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahanBKP antar cabang :
bahwa ketentuan ini merupakan akibat dari prinsip desentralisasi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Dengan prinsip desentralisasi, maka baik kantor pusat maupun cabang dengan nama dan dalam bentuk apapun, masing-masing dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP setempat. Karena masing-masing berstatus sebagai PKP, maka penyerahan BKP antar mereka dikenakan pajak;
bahwa dalam memori penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN ditegaskan yang dimaksud dengan cabang antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan sejenisnya;Karena tempat kegiatan usaha dilakukan yang dapat berupa cabang, perwakilan, lokasi proyek, pabrik, gerai (outlet) merupakan PKP terpisah dari Kantor Pusat, maka penyerahan dari pusat ke tempat kegiatan usaha ini atau sebaliknya, dan penyerahan BKP antar tempat kegiatan usaha merupakan penyerahan terutang pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang adalah pada saat kegiatan penyerahansudah dilakukan;
bahwa berdasarkan ajaran materil tersebut, dalam Pasal 11 UU PPN saat pajak terutang diatur sebagai berikut :
1) Terutangnya pajak terjadi pada saat :
2) dst.
bahwa dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya titik tolak untuk menentukan saat terutang PPN atas penyerahan BKP atau JKP adalah saat dilakukan penyerahan BKP atau JKP. Prinsip dasar menggunakan penyerahan BKP atau JKP sebagai tolok ukur. Oleh karena itu pertama-tama perlu ditentukan bilamana suatu kegiatan dapat diidentifikasi sebagai penyerahan BKP atau JKP.
Saat penyerahan BKP diatur dalam Pasal 1 A ayat (1) UU PPN.
Kaitan antara saat penyerahan BKP dengan saat pajak terutang menurutUndang-undang, dapat digambarkan sebagai berikut :
f. Penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang :
bahwa ketentuan ini merupakan akibat dari prinsip desentralisasi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Dengan prinsip desentralisasi, maka baik kantor pusat maupun cabang dengan nama dan dalam bentuk apapun, masing-masing dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP setempat. Karena masing-masing berstatus sebagai PKP, maka penyerahan BKP antar mereka dikenakan pajak.
bahwa dalam memori penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN ditegaskan yang dimaksud dengan cabang antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan sejenisnya.
Karena tempat kegiatan usaha dilakukan yang dapat berupa cabang, perwakilan, lokasi proyek, pabrik, gerai (outlet) merupakan PKP terpisah dari Kantor Pusat, maka penyerahan dari pusat ke tempat kegiatan usaha ini atau sebaliknya, dan penyerahan BKP antar tempat kegiatan usaha merupakan penyerahan terutang pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang adalah pada saat kegiatan penyerahan sudah dilakukan.
bahwa saat Pajak terutang yang erat kaitannya dengan penentuan saat terjadinya penyerahan BKP tersebut yang merupakan bagian dari materi Pasal 11 UU PPN.
bahwa dari ketentuan Pasal 11 UU PPN tersebut dapat disimpulkan bahwa terutangnya pajak terjadi :
bahwa pada prinsipnya penyerahan Barang Kena Pajak antar divisi atau antar unit dalam satu perusahaan terpadu (integrated) yang terletak dalam satu wilayah Kantor Pelayanan Pajak tidak termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak menurut Undang-Undang sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-02/PJ.52/1995 Tentang Faktur Pajak (Seri PPN-95) angka 1.7 :
”Apabila Pengusaha Kena Pajak merupakan perusahaan yang terpadu (misalnya dari pemintalan benang sampai dengan pembuatan garmen), maka atas penyerahan antar divisi/unit/cabang dalam satu wilayah KPP, tidak merupakan penyerahan yang terutang PPN dan karena tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak.Dalam hal divisi/unit/cabang tersebut berada dalam wilayah-wilayah KPP yang berbeda, maka atas penyerahan antar divisi/unit/cabang tersebut merupakan penyerahan yang terutang PPN, sehingga harus dibuatkan Faktur Pajak“.bahwa dari SPT Masa PPN maupun SKPKB PPN (kolom menurut Pemohon Banding dan menurut Terbanding) diketahui bahwa jumlah Penyerahan Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN = Rp.-0- Apabila Terbanding menyatakan bahwa pengiriman TBS dari perkebunan ke industri pengolahan minyak sawit adalah merupakan penyerahan, maka seharusnya dalam SKPKB pada kolom Penyerahan Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN diisi sebesar nilai TBS yang diserahkan dari perkebunan tersebut. bahwa dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, dibuat bertujuan untuk menjabarkan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN.
bahwa Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN, pada pokoknya hanya menentukan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari penyerahan yang terutang pajak dan berapa besarnya Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan karena penyerahan yang tidak terutang pajak.
Hal ini jelas-jelas tertera pada penjelasan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN, dimana dalam contoh disebutkan adanya nilai penyerahan. Artinya makna yang terkandung dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 didasarkan atas adanya penyerahan barang kena pajak dan atau bukan Barang Kena Pajak, dan bukan didasarkan kepada unit kegiatan menghasilkan.
bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan :
Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 575/KMK.04/2000 tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU Nomor 18 Tahun 2000 yaitu : Apabila dalam suatu Masa Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
bahwa yang dijual oleh Pemohon Banding adalah merupakan produk akhir dari hasil olahan atas Tandan Buah Segar berupa Crude Palm Oil (CPO).
Dengan demikian produk akhir yang dihasilkan merupakan Barang Kena Pajak yang pada saat penyerahan kepada pihak Pembeli dikenakan PPN sebesar 10 %;
bahwa memperhatikan uraian tersebut diatas, Majelis berpendapat :
I. Perkebunan1. …………………..2. …………………..3. Kelapa Sawit.Buah, Cangkang yang dipetik, dibrondol, direbus, dirontokkan,dicacah, dipress, dikeringkan, dipecah, dipisahkan (cangkang dan inti sawit) yang merupakan Tandan Buah Segar (TBS), Cangkang, ampas, daun dan komposnya serta limbah untuk pakan ternak, Tempurung basah/kering.4. dst …………………..
Rekapitulasi Koreksi :
Menurut No. Uraian Koreksi Terbanding Majelis Keterangan ( Rp. ) ( Rp. ) 1. Koreksi Pajak Masukan PPN 245.464.607,00 0,00 Tidak Dipertahankan |
MENIMBANG
dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;
dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;
MENIMBANG
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
MENIMBANG
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-765/WPJ.27/2012 tanggal 12 Nopember 2012 tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Masa Pajak Mei 2009 Nomor : 00109/207/09/201/11 tanggal 21 Nopember 2011, sehingga PPN Masa Pajak Mei 2009 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-765/WPJ.27/2012 tanggal 12 Nopember 2012 tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Masa Pajak Mei 2009 Nomor : 00109/207/09/201/11 tanggal 21 Nopember 2011, sehingga PPN Masa Pajak Mei 2009 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
Uraian
|
Menurut
Terbanding (Rp) |
Menurut
Majelis (Rp) |
PPN Kurang / ( Lebih ) Bayar
|
245.464.607,00
|
0,00
|
Sanksi Bunga Pasal 13 ayat (2) KU
|
0,00
|
0,00
|
Sanksi Bunga Pasal 13 ayat (3) KU
|
245.464.607,
|
0,00
|
Jml PPN Yang Masih Harus/(Lebih)
|
490.929.214,
|
0,00
|
MENGINGAT
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;
MEMUTUSKAN
Mengabulkan Seluruhnya banding Pemohon Banding atas sengketa pajak terhadap terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP- 765/WPJ.27/2012 tanggal 12 Nopember 2012 tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Masa Pajak Mei 2009 Nomor : 00109/207/09/201/11 tanggal 21 Nopember 2011, atas nama : XXX, NPWP YYY, sehingga PPN Masa Pajak Mei 2009 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
Mengabulkan Seluruhnya banding Pemohon Banding atas sengketa pajak terhadap terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP- 765/WPJ.27/2012 tanggal 12 Nopember 2012 tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Masa Pajak Mei 2009 Nomor : 00109/207/09/201/11 tanggal 21 Nopember 2011, atas nama : XXX, NPWP YYY, sehingga PPN Masa Pajak Mei 2009 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
Uraian
|
Menurut
Terbanding (Rp) |
Menurut
Majelis (Rp) |
PPN Kurang / ( Lebih ) Bayar
|
245.464.607,
|
0,00
|
Sanksi Bunga Pasal 13 ayat (2) KU
|
0,00
|
0,00
|
Sanksi Bunga Pasal 13 ayat (3) KU
|
245.464.607,
|
0,00
|
Jml PPN Yang Masih Harus/(Lebih)
|
490.929.214,
|
0,00
|
Demikian diputus di Jakarta pada hari Kamis tanggal 5 September 2013 berdasarkan musyawarah Majelis XVI Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut :
Drs. Binsar Siregar, Ak sebagai Hakim Ketua,
Drs. Arif Subekti sebagai Hakim Anggota,
Drs. I Putu Setiawan, MM sebagai Hakim Anggota,
Drs. Subandi, Ak., MM sebagai Panitera Pengganti,
Drs. Binsar Siregar, Ak sebagai Hakim Ketua,
Drs. Arif Subekti sebagai Hakim Anggota,
Drs. I Putu Setiawan, MM sebagai Hakim Anggota,
Drs. Subandi, Ak., MM sebagai Panitera Pengganti,